Senin, 29 Agustus 2011

Ternyata, Hidup Ini Sederhana

"Ternyata, Hidup Ini Sederhana"

Ada seseorang saat melamar kerja, memungut sampah kertas di lantai ke dalam tong sampah, dan hal itu terlihat oleh peng-interview, dan dia mendapatkan pekerjaan tersebut.

Ternyata untuk memperoleh penghargaan sangat mudah,
cukup memelihara kebiasaan yang baik.

—- 000 —–

Ada seorang anak menjadi murid di toko sepeda. Suatu saat ada seseorang yang mengantarkan sepeda rusak untuk diperbaiki di toko tsb. Selain memperbaiki sepeda tersebut, si anak ini juga membersihkan sepeda hingga bersih mengkilap. Murid-murid lain menertawakan perbuatannya. Keesokan hari setelah sang empunya sepeda mengambil sepedanya, si adik kecil ditarik/diambil kerja di tempatnya.

Ternyata untuk menjadi orang yang berhasil sangat mudah,
cukup punya inisiatif sedikit saja.

—- 000 —–

Seorang anak berkata kepada ibunya: “Ibu hari ini sangat cantik.” Ibu menjawab: “Mengapa?”Anak menjawab: “Karena hari ini ibu sama sekali tidak marah-marah.”

Ternyata untuk memiliki kecantikan sangatlah mudah, hanya perlu tidak marah-marah.

—- 000 —–

Seorang petani menyuruh anaknya setiap hari bekerja giat di sawah.Temannya berkata: “Tidak perlu menyuruh anakmu bekerja keras, Tanamanmu tetap akan tumbuh dengan subur.” Petani menjawab: “Aku bukan sedang memupuk tanamanku, tapi aku sedang membina anakku.”

Ternyata membina seorang anak sangat mudah, cukup membiarkan dia rajin bekerja.

—- 000 —–

Seorang pelatih bola berkata kepada muridnya:“Jika sebuah bola jatuh ke dalam rerumputan, bagaimana cara mencarinya?”Ada yang menjawab: “Cari mulai dari bagian tengah.” Ada pula yang menjawab: “Cari di rerumputan yang cekung ke dalam.” Dan ada yang menjawab: “Cari di rumput yang paling tinggi.” Pelatih memberikan jawaban yang paling tepat:“Setapak demi setapak cari dari ujung rumput sebelah sini hingga ke rumput sebelah sana.”

Ternyata jalan menuju keberhasilan sangat gampang,
cukup melakukan segala sesuatunya setahap demi setahap
secara berurutan, jangan meloncat-loncat.

—- 000 —–

Katak yang tinggal di sawah berkata kepada katak yang tinggal di pinggir jalan: “Tempatmu terlalu berbahaya, tinggallah denganku.” Katak di pinggir jalan menjawab: “Aku sudah terbiasa, malas untuk pindah.” Beberapa hari kemudian katak “sawah” menjenguk katak “pinggir jalan”dan menemukan bahwa si katak sudah mati dilindas mobil yang lewat.

Ternyata sangat mudah menggenggam nasib kita sendiri,
cukup hindari kemalasan saja.


—- 000 —–

Ada segerombolan orang yang berjalan di padang pasir,semua berjalan dengan berat, sangat menderita,hanya satu orang yang berjalan dengan gembira. Ada yang bertanya: “Mengapa engkau begitu santai?” Dia menjawab sambil tertawa: “Karena barang bawaan saya sedikit.”

Ternyata sangat mudah untuk memperoleh kegembiraan,
cukup tidak serakah
dan memiliki secukupnya saja.

—- 000 —– 
 
Hidup ini sederhana . .
 

"Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan,
dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu,
siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya . . . " (Qs. Al-Mulk: 1-2)




from Cerita-Cerita Motivasi (Grup 1)
Cerita, "Ternyata, Hidup Ini Sederhana"

Minggu, 28 Agustus 2011

Sebaik-baik Manusia

 Manis, Harum, Lembut

Persaudaraan adalah mu'jizat, wadah yang saling berikatan dengannya Allah persatukan hati berserakan saling bersaudara, saling merendah lagi memahami, saling mencintai, dan saling berlembut hati.

-Sayyid Quthb-


* * *

Di perjalanan, pemuda itu terbiasa menyapa dan mengajak siapa saja yang berdiri didekatnya ataupun duduk disebelahnya. Setelah itu tergantung lawan bicara; jika mereka merasa nyaman dia akan mengerahkan kemampuannya berakrab-akrab. Dia akan hanyut bersama mereka dalam perbincangan mengasyikkan. Tapi jika yang disapa terlihat merasa terganggu, dia akan kembali mengakrabi buku yang telah dia siapkan. Sebelum meletakkan bagasi diruang penyimpanan atas, dia tak pernah lupa membuka tas punggungnya, mengeluarkan sebuah buku dan melemparnya ke kursi. Setelah itu duduk.

Hari itu yang duduk disampingnya dalam penerbangan Jakarta-Singapura tampak tak biasa. Seorang ibu. Sudah cukup sepuh dengan keriput wajah mulai menggayut. Kerudungnya kusut. Sandalnya jepit sederhana. Dan dalam pandangan si pemuda, beliau tampak agak udik. Tenaga kerjakah? Setua ini?

Tetapi begitu si pemuda menyapa, si Ibu tersenyum padanya dan tampaklah raut muka yang sumringah dan merdeka. Sekilas, garis-garis ketuaan diwajahnya menjelma menjadi semburat cahaya kebijaksanaan. Si pemuda takjub.

"Ibu hendak kemana?" tanyanya sambil tersenyum ta'zhim.

"Singapura Nak," senyum sang Ibu bersahaja.

"Akan bekerja atau...?"

"Bukan Nak, anak Ibu yang nomer dua bekerja disana. Ini mau menengok cucu. Kebetulan menantu Ibu baru saja melahirkan putra kedua mereka."

Si pemuda sudah merasa tak enak atas pertanyaannya barusan. Kini dia mencoba lebih berhati-hati.

"Oh, putra Ibu sudah lama bekerja disana?"

"Alhamdulillah, lumayan. Sekarang katanya sudah jadi Permanent Resident begitu. Ibu juga nggak ngerti apa maksudnya, hehe... Yang jelas disana jadi arsitek. Tukang gambar gedung."

Si pemuda tertegun. Arsitek? PR di Singapura? Hebat.

"Oh, iya, putra Ibu berapa?"

"Alhamdulillah Nak, ada empat. Yang di Singapura ini, yang nomer dua. Yang nomer tiga sudah tugas jadi dokter bedah di Jakarta. Yang nomer empat sedang ambil S2 di Jerman. Dia dapat beasiswa."

"Masyaallah. Luar biasa. Alangkah bahagia menjadi Ibu dari putra-putra yang sukses. Saya kagum sekali sama Ibu yang berhasil mendidik mereka." Si pemuda mengerjap mata dan mendecakkan lidah.

Si Ibu mengangguk-angguk dan berulangkali berucap, "Alhamdulillah." lirih. Matanya berkaca-kaca.

"Oh iya, maaf Bu... Bagaimana dengan putra Ibu yang pertama?"

Si Ibu menundukkan kepala. Sejenak tangannya memainkan sabuk keselamatan yang terpasang dipinggang. Lalu dia tatap lekat-lekat si pemuda. "Dia tinggal dikampung Nak, bersama dengan Ibu. Dia bertani meneruskan menggarap secuil sawah peninggalan bapaknya." Si Ibu terdiam. Beliau menghela nafas panjang, menegakkan kepala. Tapi kemudian menggeleng, menerawang kearah jendela sambil mengulum senyum yang entah apa artinya.

Si pemuda menyesal telah bertanya. Betul-betul menyesal. Dia ikut prihatin.

"Maaf Bu, kalau pertanyaan saya menyinggung Ibu. Ibu mungkin jadi sedih karena tidak bisa membanggakan putra pertama Ibu sebagaimanan putra-putra Ibu yang lain."

"Oh tidak Nak. Bukan begitu!" si Ibu cepat-cepat menatap tajam namun lembut pada si pemuda.

“Ibu justru sangat bangga pada putra pertama Ibu itu. Sangat-sangat bangga. Sangat-sangat bangga!” Si Ibu menepuk-nepuk pundak si pemuda dengan mata berbinar seolah dialah sang putra pertama.

“Ibu bangga sekali padanya, karena dialah yang rela membanting tulang dan menguras tenaga untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Bahkan dialah yang senantiasa mendorong, menasehati, dan mengirim surat penyemangat saat mereka di rantau. Tanpa dia, adik-adiknya takkan mungkin jadi seperti sekarang ini!” sang Ibu terisak. Sunyi. Tak ada kata.

Pemuda itu mengambil sapu tangan. Genangan dimatanya tumpah…

* * *

Sungguh . .
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain"


(ditulis ulang dari buku Dalam Dekapan Ukhuwah karya Salim A. Fillah)

Intense Debate Comments

Link Within

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Label