Senin, 17 Oktober 2011

Jika Jujur Tak Mujur

Saat benih-benih kejujuran tumbuh melekat di sanubari.

Tentu tak akan ada lagi korupsi di muka bumi.

* * *

Jujur memang menjadi sesuatu yang langka di jaman globalisasi ini. Di era pemikiran matrealisme yang berkembang di dunia saat ini, nilai kejujuran seakan tidak penting. Orang-orang lebih mengutamakan kepentingan dirinya sendiri dibandingkan nilai jujur. 

“Biarlah tak jujur, supaya mujur!”, mungkin itu motto kebanyakan orang-orang di dunia saat ini.

Mari kita telaah dari mana kebudayaan buruk ini berkembang.

Seorang anak yang baru dilahirkan tentunya masih memiliki perangai polos dan tidak mengenal mana yang baik atau pun yang buruk. Ia akan belajar tentang hal-hal baik atau buruk dari lingkungannya. Saat masih balita anak-anak sering berinteraksi dengan orang tuanya. Nilai-nilai yang berkembang di dalam dirinya pun banyak ia pelajari dari lingkungan keluarganya. Seiring perkembangan kepribadiannya anak-anak akan belajar banyak nilai-nilai moral dan etika dari orang tua yang mengasuhnya. Nilai kejujuran pun sudah dipupuk oleh para orang tua. Tapi mengapa anak-anak pun masuh ada saja yang tidak jujur?

Tanya kenapa? Kenapa tanya?

Dewasa ini, banyak orang tua yang ingin mempunyai anak berperangai baik. Termasuk memiliki sifat jujur. Tapi siapa sangka, ternyata anak-anak ini belajar untuk tidak jujur dari orang tua yang mengasuhnya juga. Banyak orang tua yang secara tidak sadar memberi pelajaran untuk berbohong.

Misalnya saja saat ada panggilan telepon dari orang lain, orang tua yang enggan untuk menerima panggilan itu menyuruh anaknya untuk menerima telepon dan mengatakan bahwa orang tuanya sedang tidur atau pergi keluar rumah. Padahal anak-anak itu melihat bahwa orang tuanya tidak sedang tidur ataupun pergi keluar rumah. Inilah salah satu contoh pembelajaran buruk bagi anak-anak yang akan beranjak menjadi remaja, dewasa, dan berkeluarga seperti orang tuanya. Dan  nilai ini akan terus menjadi warisan turun-temurun jika masih saja trus dilestarikan.

Saat anak-anak itu beranjak remaja dan mengenyam penidikan pun, mereka masih saja mempraktekan nilai-nilai ketidakjujuran. Menyontek mungkin sudah bukan hal yang tabu bagi kebanyakan pelajar. Demi nilai baik maka jujur itu tidak menjadi hal yang penting.

Mereka beranggapan, “orang jujur tidak mujur!”.

Padahal siapa bilang orang jujur tidak bisa mujur? Banyak orang-orang jujur yang sukses karena nilai kepribadian jujur yang dimilikinya. Tengok saja Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Perangainya dihiasi nilai-nilai kebaikan yang tinggi, sudah tentu sifat dan kepribadian jujur melekat pada diri beliau dan para sahabatnya.

Tapi, kebanyakan manusia saat ini hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Asalkan berhasil, cara apaun akan ditempuhnya meskipun harus tidak jujur.

Nah kalau sudah begini siapa yang salah?

Tidak ada yang sepenuhnya salah, karena orang tua yang mendidiknya pun pasti ingin anak-anaknya menjadi orang yang berperangai baik, begitupun fungsi pendidikan formal seperti sekolah. Pasti sekolah ingin menghasikan siswa-siswi yang pintar dan berbudi pekerti luhur.

Jadi, tak perlu saling menyalahkan. Karena semua masalah ini tak akan berakhir dan terselesaikan dengan saling menyalahkan satu sama lain. Semua ini bisa kita ubah dengan memulainya dari diri sendiri. Mari kita jujur!

Apabila seluruh lapisan masyarakat, pemerintah, pelajar, dan orang tua sudah mengubah pribadinya menjadi orang yang jujur, maka generasi masyarakat jujur bukan hanya mimpi bangsa ini. Dan kata 'korupsi' akan lenyap dari muka bumi.

Kalau bukan kita yang memulai, lalu siapa lagi?!

Intense Debate Comments

Link Within

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Label