Celupan warna Allah, dan siapakah yang lebih baik celupan warnanya dari pada Allah? dan Hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.”
(QS. Al Baqarah 138)
____________________________
Bagaikan
kain putih yang telah terkena beberapa noda, pribadi-pribadi mukmin
kemudian dicuci dengan syahadat yang mereka ikrarkan. Allah kemudian
memberi warna dengan celupanNya, celupan warna dengan citarasa illahi
yang Maha Tinggi. Jika sang hamba terus menjaga amalan wajibnya,
kemudian ia mendekatkan diri dengan amalan sunnah dan nafilahnya, maka
celupan warna itu menjadi gerak hidup yang memancarkan kemuliaan dan
keagungan.
"...Tidaklah hamba-hambaKu mendekatkan diri
kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku sukai dibanding hal-hal yang Aku
wajibkan. Dan hambaKu akan terus mendekatkan diri kepadaKu dengan
amalan-amalan nafilah, sampai Aku mencintainya. Maka, apabila aku
mencintainya, Aku akan menjadi pendengaran dimana ia mendengar
dengannya. Aku akan menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya. Aku
akan menjadi tangan dimana ia bertindak dengannya, dan Aku akan menjadi
kaki dimana ia berjalan dengannya..." (HR Bukhari, dari Abu Hurairah)
Tentang
warna warni itu? Ya. Islam tidak menghapus karakter-karakter khas dari
pribadi pemeluknya yang tidak bertentangan dengan aqidah. Islam justru
membingkainya menjadi kemuliaan karakter yang menyejarah. Bahkan
Rasulullah mengatakan, “Khiyaarukum fil jahiliyah, khiyaarukum fil
Islam... Orang terpilih kalian di masa jahiliyah akan menjadi orang
terpilih pula di masa Islamnya.”
Para sahabat adalah figur-figur
menarik yang penuh warna. Menggambarkan sosok mereka sebagai manusia
biasa, namun ada kemuliaan yang senantiasa terukir dalam ke-biasa-annya
itu.
Ada orang-orang besar dengan gelar besar. Tetapi kebesaran
itu bermula dari satu prinsip yang dipegang teguh. Satu saja, kecil
saja. Tetapi istiqamah. Abu Bakar Ash Shidiq. Benar, membenarkan, dan
dibenarkan. Mengapa? Karena teguh untuk yakin pada apa yang berasal dari
sisi Allah dan RasulNya. Maka keyakinan itu menjadi sesuatu yang sangat
besar, “Andaikan iman seluruh manusia ditimbang pada suatu dacing dan
iman Abu Bakar pada dacing yang lain, niscaya iman Abu Bakar lebih
berat.” Subhanallah!
Umar
Al-Faruq. Ia, sosok yang tak
pernah menyembunyikan perasaannya. Jujur pada dirinya, jujur pada Allah,
jujur pada manusia. Blak-blakkan, keras, tak kenal takut. “Bukankah
kita berada diatas kebenaran? Bukankah mereka beradar diatas kebathilan?
Bukankah kalau kita mati, kita masuk surga sedang mereka masuk neraka?”
Maka bermulalah aksi-aksi besar kaum muslimin dari Umar, ba’dallah.
Da’wah terang-terangan, show of force di Ka’bah, hijrah terang-terangan,
dan gemeretaknya gigi orang kafir dan orang munafik. Ia keras. Sangat
keras. Tetapi ada saat dimana ialah manusia terlembut; saat memimpin.
Maka benarlah kata-kata Ibnu Mas’ud, “Islamnya Umar adalah kemenangan,
hijrahnya adalah pertolongan, dan kepemimpinannya adalah rahmat bagi
orang beriman.”
Ustman
Dzun Nurain, si pemalu berakhlak
mulia. Malu tak hanya pada manusia, tetapi lebih dari itu, pada Allah.
Mandinya Ustman tidak dilakukan kecuali dalam rumah yang terkunci rapat,
tertutup semua lubangnya, di kamar yang terlindung dan terkunci, dalam
sebuah bilik rapat di kamar itu, dan dipasang selubung kain yang tinggi.
Itupun, Ustman masih tak bisa menegakkan punggung karena rasa malu. Ia
selalu malu pada Allah. Ia malu, jika nikmat-nikmat Allah tak ia
nafkahkan di jalanNya. Maka ribuan unta menyertai perang Tabuk. Ia malu,
jika ia kenyang sementara penduduk Madinah ditimpa peceklik. Maka 1000
unta penuh muatan ia bagikan gratis. Ia malu, jika ia minum air sejuk
sementara penduduk Madinah meminum air bacin. Maka dibelinyalah sumur
Raumah, lalu ia wakafkan. “Tidak akan membahayakan Ustman”, sabda sang
Nabi, “Apapun yang dia lakukan setelah hari ini.” Dan Ustman semakin
merasa malu..
Ali yang ceria. Ceria mengajarinya keberanian untuk
tidur menggantikan Rasulullah di saat teror pembunuhan mengepung
kediaman beliau yang kecil. Ceria mengajarinya berlari-lari menyusur
padang pasir sejauh 400 km untuk hijrah seorang diri dalam kejaran
musuh. Ceria mengajarinya berolok-olok pada Amir bin Abdu Wuud, jagoan
Quraisy yang menantang perang tanding dalam peristiwa Khandaq. Dan saat
tubuh yang besarnya dua kali lipat dirinya itu jatuh terbelah, kaum
muslimin pun bertakbir gembira. Dan ia, tetap ceria. Ceria mengajarinya
untuk asyik belajar, maka ia menjadi pintu kota ilmu. Ceria -saat sakit
mata- membuatnya menjadi pemegang panji penaklukan Khaibar, maka jadilah
ia pemegang panji yang mencintai dan dicintai oleh Allah dan RasulNya.
Abu
Dujanah memang congkak, tapi ia bingkai kecongkakannya dalam jihad
menghadapi musuh-musuh Allah sehingga ia mulia dengan kecongkakannya.
Ikat kepala merah, langkah yang angkuh, jalan yang penuh gaya, membuat
Rasulullah berkomentar, “Allah membenci yang seperti ini kecuali dalam
peperangan di jalanNya!”. Akhirnya, Abu Dujanah meraih kemulian yang ia
nantikan, sambutan bidadari surga.
Ada Abu Ubaidah kepercayaan
umat ini. Seperti apa orangnya? Rapi jali! Pandai mengadministrasi,
cerdas dan adil. Sangat dipercaya, sampai orang-orang Romawi yang
beragama Nashrani merindukannanya. Sangat dipercaya, sampai Umar
kehabisan akal untuk memintanya keluar dari kota berwabah. Sangat
dipercaya, maka begitu sulit mencari penggantinya mengurus Baitul Maal.
Ada Az Zubair hawari Rasulullah. Sebuah potret kesetiaan. Dan Thalhah
yang perwira, perisai hidup Rasulullah yang di tubuhnya ada tujuh puluh
sayatan pedang, hunjaman tombak, dan tusukan anak panah. Maka jadilah
ia, kata Rasulullah, seorang syahid yang masih berjalan di muka bumi.
Ada
orang-orang besar dengan gelar besar. Ada Khalid, pedang Allah yang
senantiasa terhunus. Maka sering, dengan kudanya ia membelah barisan
musuh sendiri. Ia pedang Allah, maka tiga belas pedang patah di
tangannya pada perang Mu’tah. Ia pedang Allah, yang memang hanya hafal
sedikit ayat. Tetapi seluruh bagian tubuhnya yang penuh luka akan
menjadi saksi dihadapan Allah, meski ia mati di ranjang. Ada Hudzaifah,
pemegang rahasia-rahasia Rasulullah. Maka ialah intelejen paling
gemilang dalam sejarah, yang duduk di hadapan Abu Sofyan, pemimpin
musuh. Maka ketika pada Rasulullah manusia bertanya tentang amal-amal
yang harus dilakukan, ia bertanya tentang laku-laku yang harus dijauhi.
Ia, manusia yang lisannya tak bisa dipaksa berbicara, meski oleh Umar
sahabatnya. Ia, pemegang rahasia-rahasia.
Ada lagi yang agung
dalam gelar kematiannya. Hamzah penghulu syuhada, Ja’far pemilik dua
sayap yang terbang kian kemari di surga, Abdullah bin Rawahah yang
ranjangnya terbang menghadap Rabbnya. Sa’ad bin Mu’adz yang kenaikan
ruhnya membuat ‘Arsyi Allah berguncang, dan Hanzhalah yang dimandikan
malaikat.
Ada yang mulia dengan perbuatannya. Usaid bin Hudhair
yang tilawahnya didengarkan malaikat, Ibnu Mas’ud yang qiraatnya seperti
saat Al-Qur’an diturunkan, Abdurahman bin Auf yang diberkahi dalam
shadaqah dan simpanannya, keluarga Abu Thalhah yang membuat Allah
takjub, dan Ukasyah yang ingin bersentuh kulit dunia akhirat dengan
Rasulullah.
Ada yang pernah berbuat dosa, tapi ia jujur! Ma'iz
mengakui perzinaannya, meminta rajam untuk dirinya, sampai Rasulullah
mengatakan, "Jika taubatnya dibagi untuk seluruh penduduk Madinah,
niscaya mencukupi bagi mereka."
Mereka, manusia-manusia biasa
yang istiqamah dengan potensi kebaikan yang dimilikinya.
Kecenderungan-kecenderungan memang berbeda. Dan jadilah itu warna-warna.
Ada canda yang mereka lakukan, sampai saling lempar semangka suatu
ketika. Tapi periwayat hadits ini berkomentar, “Mereka adalah laki-laki
dalam urusan-urusannya!” Ya, mereka tahu kapan saatnya lempar semangka,
dan kapan saatnya lempar lembing untuk menegakkan agama Allah.
Alangkah indah hari-hari mereka. Mari kita berdoa, sebagai orang-orang yang datang sesudah mereka...
"Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka
berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang
Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb
kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. Al Hasyr 10)
Menjadi
muslim adalah menjadi kain putih. Lalu Allah mencelupnya menjadi warna
ketegasan, kesejukan, keceriaan, dan cinta, rahmat bagi semesta alam.
Aku jadi rindu pada pelangi itu, pelangi yang memancarkan celupan warna
Ilahi, wahai Yang Maha Penyantun lagi Maha Penyayang..
(Dikutip dari buku, “Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim”, Salim A. Fillah, dengan sedikit perubahan)