Minggu, 28 Agustus 2011

Sebaik-baik Manusia

 Manis, Harum, Lembut

Persaudaraan adalah mu'jizat, wadah yang saling berikatan dengannya Allah persatukan hati berserakan saling bersaudara, saling merendah lagi memahami, saling mencintai, dan saling berlembut hati.

-Sayyid Quthb-


* * *

Di perjalanan, pemuda itu terbiasa menyapa dan mengajak siapa saja yang berdiri didekatnya ataupun duduk disebelahnya. Setelah itu tergantung lawan bicara; jika mereka merasa nyaman dia akan mengerahkan kemampuannya berakrab-akrab. Dia akan hanyut bersama mereka dalam perbincangan mengasyikkan. Tapi jika yang disapa terlihat merasa terganggu, dia akan kembali mengakrabi buku yang telah dia siapkan. Sebelum meletakkan bagasi diruang penyimpanan atas, dia tak pernah lupa membuka tas punggungnya, mengeluarkan sebuah buku dan melemparnya ke kursi. Setelah itu duduk.

Hari itu yang duduk disampingnya dalam penerbangan Jakarta-Singapura tampak tak biasa. Seorang ibu. Sudah cukup sepuh dengan keriput wajah mulai menggayut. Kerudungnya kusut. Sandalnya jepit sederhana. Dan dalam pandangan si pemuda, beliau tampak agak udik. Tenaga kerjakah? Setua ini?

Tetapi begitu si pemuda menyapa, si Ibu tersenyum padanya dan tampaklah raut muka yang sumringah dan merdeka. Sekilas, garis-garis ketuaan diwajahnya menjelma menjadi semburat cahaya kebijaksanaan. Si pemuda takjub.

"Ibu hendak kemana?" tanyanya sambil tersenyum ta'zhim.

"Singapura Nak," senyum sang Ibu bersahaja.

"Akan bekerja atau...?"

"Bukan Nak, anak Ibu yang nomer dua bekerja disana. Ini mau menengok cucu. Kebetulan menantu Ibu baru saja melahirkan putra kedua mereka."

Si pemuda sudah merasa tak enak atas pertanyaannya barusan. Kini dia mencoba lebih berhati-hati.

"Oh, putra Ibu sudah lama bekerja disana?"

"Alhamdulillah, lumayan. Sekarang katanya sudah jadi Permanent Resident begitu. Ibu juga nggak ngerti apa maksudnya, hehe... Yang jelas disana jadi arsitek. Tukang gambar gedung."

Si pemuda tertegun. Arsitek? PR di Singapura? Hebat.

"Oh, iya, putra Ibu berapa?"

"Alhamdulillah Nak, ada empat. Yang di Singapura ini, yang nomer dua. Yang nomer tiga sudah tugas jadi dokter bedah di Jakarta. Yang nomer empat sedang ambil S2 di Jerman. Dia dapat beasiswa."

"Masyaallah. Luar biasa. Alangkah bahagia menjadi Ibu dari putra-putra yang sukses. Saya kagum sekali sama Ibu yang berhasil mendidik mereka." Si pemuda mengerjap mata dan mendecakkan lidah.

Si Ibu mengangguk-angguk dan berulangkali berucap, "Alhamdulillah." lirih. Matanya berkaca-kaca.

"Oh iya, maaf Bu... Bagaimana dengan putra Ibu yang pertama?"

Si Ibu menundukkan kepala. Sejenak tangannya memainkan sabuk keselamatan yang terpasang dipinggang. Lalu dia tatap lekat-lekat si pemuda. "Dia tinggal dikampung Nak, bersama dengan Ibu. Dia bertani meneruskan menggarap secuil sawah peninggalan bapaknya." Si Ibu terdiam. Beliau menghela nafas panjang, menegakkan kepala. Tapi kemudian menggeleng, menerawang kearah jendela sambil mengulum senyum yang entah apa artinya.

Si pemuda menyesal telah bertanya. Betul-betul menyesal. Dia ikut prihatin.

"Maaf Bu, kalau pertanyaan saya menyinggung Ibu. Ibu mungkin jadi sedih karena tidak bisa membanggakan putra pertama Ibu sebagaimanan putra-putra Ibu yang lain."

"Oh tidak Nak. Bukan begitu!" si Ibu cepat-cepat menatap tajam namun lembut pada si pemuda.

“Ibu justru sangat bangga pada putra pertama Ibu itu. Sangat-sangat bangga. Sangat-sangat bangga!” Si Ibu menepuk-nepuk pundak si pemuda dengan mata berbinar seolah dialah sang putra pertama.

“Ibu bangga sekali padanya, karena dialah yang rela membanting tulang dan menguras tenaga untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Bahkan dialah yang senantiasa mendorong, menasehati, dan mengirim surat penyemangat saat mereka di rantau. Tanpa dia, adik-adiknya takkan mungkin jadi seperti sekarang ini!” sang Ibu terisak. Sunyi. Tak ada kata.

Pemuda itu mengambil sapu tangan. Genangan dimatanya tumpah…

* * *

Sungguh . .
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain"


(ditulis ulang dari buku Dalam Dekapan Ukhuwah karya Salim A. Fillah)

Tidak ada komentar:

Intense Debate Comments

Link Within

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Label