Lanjutan dari Catatan Laskar Rimba, Pendakian Ceremai (Part I)
dan Catatan Laskar Rimba, Pendakian Ceremai (Part II)
Alhamdulillah makan pagi telah selesai, nasi plus telur tahu
dan sayur hanya 5000 rupiah~ dahsyaaat. Udah jam 6.45 pagi tapi belum datang
juga petugas pendaftaran pendakiannya. Pas di telepon ternyata bilang 30 menit
lagi. #okesip Kami mengisi waktudengan bincang-bincang tentang rencana tempat
kemah bersama mas Hendrik dan Apri juga, karena Kami masih pemula, sebisa
mungkin ada orang-orang ahli yang udah sering naik turun Gunung kaya mereka
berdua ini yang bisa mandu perjalanan Kita. Rencananya sih Kami bertujuh dan
Mas Hendrik plus Apri akan jalan bersama dan berkemah di Sangga Buana I atau
Sangga Buana II.
Akhirnya petugas datang dan Kami pun mendaftar dengan biaya
10000 tiap orang, plus fotokopi KTP juga untuk mendapatkan Surat Izin Pendakian.
Akhirnya SIMAKSI telah Kami dapatkan, lets go!
Sebelum mulai Kami mengambil pesanan makan siang bungkus
dengan menu percis seperti sarapan tadi pagi, rencananya makanan itu untuk
makan siang nanti. Lalu musyawarah singkat nan sepihak, Aku mimpin pendakian
ini. Saat mas Hendrik dan Apri telah berjalan duluan, Kami bertujuh masih
bersibuk ria menyusun perbekalan dan memakai carrier. Tiap orang punya
tanggungjawab membawa satu barang kelompok. Setelah siap semua, Kami berdoa
lalu membuat jargon nan aneh. “Ciremai, Huhuyeah Allahu Akbar!” Go! Kami
menyusul Mas Hendrik dan Apri.
Perjalanan awal Kami ialah menapaki jalan beraspal dengan
pemandangan kebun-kebun masyarakat di kanan dan kiri jalan. Tak jauh dari pos
awal tadi, Kami melihat petani-petani yang sedang memanen Ubi, besar Ubinya dua
kepal tangan orang dewasa. Kalau makan satu aja udah kenyang tuh kayaknya.
Perjalanan awal di jalanan aspal ini ga sederhana, karena awalnya memang datar
namun setelah melewati kebu-kebun tadi treknya semakin lama semakin naik dan ga
ada jalan mendatar sedikitpun. Sampai yang paling ekstrim adalah tikungan tanpa
ampun, begitulah Aku menyebutnya. Kemiringannya mungkin ada sekitar 60o dengan
bentuk menikung belok 150o, ayo bayangin.. Bingung dah pasti K, sampai-sampai Kami
harus mengambil jalan aspal terluarnya yang jauh dari pusat lingkatan tikungan.
Setelah tikungan itu tanjakannya ga ngasih napas, serius deh
coba aja sendiri.. Ehehe
Tiga puluh menit Kami berjalan akhirnya sampai di pos Mata
Air Cibunar 750 mdpl, disana sudah ada Mas Hendrik dan Apri yang beristirahat
dan mengisi air untuk bekal mereka selama perjalanan. Pakai jaket lapangan
ternyata panas juga ya, badan kami banjir keringat. Habib, Gema pun buka jaket
karena panas. Setelah istirahat 10 menit kami berjalan lagi, sekarang tempatnya
sedikit rimba. Ada beberapa kios tutup dan disekelilingnya pohon-pohon besar
menjulang sekitar 10-15 meter. Jalanan sudah tidak beraspal lagi, sekarang
jalan setapak penuh batu-batu dan tanah licin. Setelah berjalan cukup lama kami
sampai di sebuah lahan terbuka ukuran 10 m2 yang pas dipakai buat
latar foto-foto. Akhirnya Kami mampir dululah ya, ambil beberapa gaya buat
oleh-oleh ke Bandung nanti J
Lalu jalan lagi dan bertemu Mas Hendrik dan Apri di warung
tutup, tengah hutan. Bincang-bincang tentang pendakian dan Kami ditawari kalau
mau ke Semeru bilang aja, nanti ditemenin. Waw! #okesip
Perjalanan Kami lanjutkan menyusuru Leuweung Datar terus
menaik hingga 1200 mdpl dengan suasana hutan pinus dan diselimuti kabut, tak
jarang Kami menemukan pohon-pohon tumbang menghalangi jalan setapak dan
banyak semak berduri di sepanjang jalan. Hati hati, ayo pake sarung tangan dan
topi atau kupluk J
Hutan Pinus dan Kabutnya, Leuweung Datar 1000 mdpl
Semak Berduri, ayo Menunduk! Leuweung Datar 1100 mdpl
Pohon-Pohon Tumbang, Leuweung Datar 1200 mdpl
Setelah pendakian yang cukup menguras tenaga, Kami tiba di
Pos Condang Amis 1250 mdpl, disana ada ruang terbuka yang bisa digunakan untuk
istirahat para pendaki. Gema membuka panti pijat gratis disana, Aliuddin jadi
pasien pertamanya J
Rehar dulu lah~ Condang Amis
Rencana selanjutnya Kami akan shalat Dzuhur plus Ashar dan
makan siang di pos Kuburan Kuda, makaKami bergegas meninggalkan pos Condang
Amis. Alhamdulillah cuaca sedang cerah J
Sekitar 30 menit berjalan, Kuburan Kuda belum sampai dan
kami menemukan tempat datar yang cocok untuk istirahat makan dan shalat.
Akhirnya Kami langsung istirahat dan makan terlebih dahulu, 7 porsi nasi
bungkus 5000-an pun serasa makanan teristimewa saat itu. Sangat dinanti..
Belum Kami memulai makan siang, datanglah 2 orang muda mudi,
laki dan perempuan. Mereka datang dari arah jalan puncak Ceremai, mereka pun
menepi dan istirahat di samping tempat Kami menyimpan barang-barang.
Mengobrolah Kami semua, beliau berkisah bahwa merek baru turun dari puncak,
sudah jalan dari jam 9 pagi tadi dari kawah. Namun pemandangannya kabut semua,
tuturnya. ”Sedihlah pokoknya!” katanya.
Tak lama berselang datang seorang om-om
dengan tongkat kayu uniknya datang dari arah kaki gunung, lalu disusul seorang
lelaki yang membawa tas carrier super besar, isinya barang-barang keperluan
pendakian mereka berdua, Boy, begitulah kami tau nama panggilannya dari om
tadi. Si om udah 4 kali naik Ceremai, cuma pendakian terakhirnya sih taun 1994,
ya masih bayi gitu deh kita semua. Hahaha, berumur kali ya si om, tapi masih
keliatan stoooong!
Singkat cerita kami mulai makan dengan bumbu tanah setelah
kejadian telur dadar jatuh dari bungkus nasi 2 kali, dan tetep kita makan walau
ada butir tanah dan batu, iya ga Gem? Haha setelah dicuci pastinya. Masih enak
kok,coba aja jatuhin telur dadar ditanah, cuci terus makan lagi. #ea *tips cacat
nan sableng
Si om dan mas boy berangkat duluan ke Kuburan Kuda,
sedangkan Kami shalat Dzuhur dan Asar di tempat tadi, dua anak muda tadi pun
melanjutkan perjalananya menuju kaki gunung. Oke sip, Markisa! Mari Kita Shalat
dengan alas matras dan jaket tuk tempat bersujud agar tak langsung menyentuh
tanah hitam gunung yang basah itu. Selesalah shalat Kami! Berangkaaat! Berjalan
sekitar 20menit, sampailah Kami di Kuburan Kuda. Si om dan mas boy sedang makan
disana, dan Kami menemukan pesan yang ditulis dalam kertas memo..
Memo, Kuburan Kuda 1450 mdpl
Oke, artinya mereka berdua baik-baik aja dan berangkat ke
lokasi duluan. Kami istirahat 5 menit lalu pamit dan melanjutkan perjalanan
menuju Pengalap, kata si om perjalanan ke Pengalap sekitar 45-60 menit dengan
jalan yang mendaki dan jangan ragu tuk berpegangan ke akar-akar dan batang
pohon. Dan setelah Kami coba, benar saja medan pendakian disini semakin berat
karena curam 30-600 dan banyak akar-akar keluar dari tanah dan bisa
dijadikan pijakan kaki. Tak jarang Kami harus mengambil jalan yang zig-zag
kanan dan kiri agar tidak curam dalam mendakinya. Dopping balsam pun mulai
dipakai, Fakhri dan Bagas pakai geliga dan.. PANAS! Begitulah kata-kata yang
keluar dari mereka berdua, Bagas baru pertama kali pakai itu dan mereka
kepanasan sepanjang perjalanan disini. #pukpuk
Posisiku paling belakang dan Fakhri dipaling depan, yang
lain menyebar di tengah. Aku menemukan tongkat kayu pemikul barang dagangan
yang tak digunakan lagi, lalu tongkat itu dibawa Faishal tuk membantu
mencengkram tanah saat mendaki.Beberapa kawan pun menemukan kayu-kayu lain
sepanjang perjalanan lalu kayu itu dibawa tuk bantu menopang badan. Aku sendiri
menggunakan tenda yang bentuknya seperti guling tuk bantu menapakan pijakan.
Sekali-sekali kami istirahat tuk minum dan menambah tenaga lewat gula merah dari
Bagas. J
Kami pun istirahat sejenak. Lalu mulai mendoping dengan
balsam, sekarang counterpain cool bukan balsam ‘panas’ lagi. Udah cukup yang
kepnasan duaorang, ga usah ditambah lagi. Ahaha, cesss adem pake ini. Paha dan
betis pun dibalur dengan balsam dingin ini. Bagas kelelahan disini, Dia tidur
dulu di batang pohon tumbang yang cukup besar. Emang enak tidur disitu, Gas?
Ehehe
Di Pangasinan ini ada 3 tenda yang sudah terpasang namun
penghuninya tidak ada. Nampaknya ada pendaki lain yang bermalam disini lalu
melanjutkan perjalanan ke puncak. Mungkin di jalan nanti Kami akan bertemu
mereka. Tiba-tiba si om dan mas boy sampai juga dipos ini. Dan merekapun
istirahat.
Kami pamitan lagi, Bagas bangun dan nge-madurasa dulu, perjalanan
dilanjutkan. Hari sudah semakin sore, kini jam menunjukkan pukul 3 sore.
Selanjutnya pos Tanjakan Seruni! Namanya juga tanjakan, ya pasti naek ke atas
dan tentunya curam juga dengan akar-akar pohon yang nenjadi pegangan sekaligus
pijakan. Mungkin inilah alasan kenapa namanya Tanjakan Seruni, ya Seru! 30
menit lebih Kami habiskan tuk menuju pos Tanjakan Seruni ini.
Tanjakan Seruni 1825 mdpl
Istirahat dulu lah sambil makan biskuit~ Siom dan mas boy
pun sampai di tempat Kami. “Kiw!” itulah ciri khasnya dalam berkomunikasidengan
Kami. Saat beliau sampai pos, beliau menyeru “Kiw!” sehingga Kami tau bahwa pos
selanjutnya sebentar lagi atau si om sudah dekat dengan lokasi Kami.
Si Om dan Mas Boy, Tanjakan Seruni 1825 mdpl
Setelah istirahat, perjlanan berlanjut menuju pos Bapa Tere
(Ayah Tiri), yaa bayangkan aja gimana kejamnya Ibu Tiri yang ada di
sinetron-sinetron, nah ini Ayah Tiri. Lebih kejam mestinya..
Dan benarlah! Momen pendakian yang berkesan, pasti. 30 Kami
mendaki menikuti jalan setapak akibat saluran air dan beberapatanah menyembul
karena akar-akar pohon, tiba-tiba tes tes tes.. Hujan turun! Tak terlalu deras
tapi.. lama-kelamaan malah deras. Maka kamipun menepi di bawah pohon yang
rimbun sehingga tetesan air tak langsung mengenai kami. Si om dan mas boy
menembus hujan dan berpapasan dengan Kami yang sedang meneduh, beliau pun
meneduh. Disini Aku berencana menadah air hujan tuk dimasukan ke botol, namun
sulit menampung air itu dengan ponco, alhasil setelah siap tuk menampung hujan, hujan pun mereda namun tak berhenti.
Perjalanan dilanjutkan dengan tas yang berbalut
jasnya agar tak basah. Kami pun menggunakan jas hujan. Perjalanan menjadi lebih
licin karena hujan, medan pendakian masih berat dan cenderung lebih curam daripada
sebelumnya. Kemiringan tanah 60-750 harus kami lalui sampai akhirnya
ada juga tanhakan 900 sehingga Kami harus seikit memanjat
berpegangan pada akar yang sudah berserabut, akar itu menjadi seperti tali yang
membantu Kami menuju ke atas. Setelah tantangan terakhir itu Kami sampai di Bapa
Tere! Bukan pos ternyata, Bapa Tere ialah tanjakan yang tak memiliki lahan
datar tuk istirahat. Perjalanan lanjut!
Lima menit berjalan setengah merangkak karena medan
pendakian yang curam, Kami sampai dilahan yang cukup luas dengan pohon-pohon
besar yang bergeletakan di tanah basah akibat batangnya patah, mungkin karena
badai.
Diantara Pohon Tumbang, Bapa Tere 2025 mdpl
Perjalanan belum selesai, hari makin gelap
menjelang maghrib ini. Kami menyiapkan senter, senter disimpan di tempat yang
mudah dijangkau tangan. Si om dan mas boy sudah berangkat duluan menuju Pos
Batu Lingga. Namun Kami menyusul kembali si om dan mas boy dan tiba-tiba Kami
bertemu dua tenda yang telah terpasang. Ternyata itu tenda mas Hendrik dan
Apri, saat berbincang mereka berkata tak melanjutkan sampai ke Sangga Buana II
saat itu karena hujan turun sore tadi. Mereka berencana naik ke puncak besok
pagi. Kami pun berpamitan lalu melanjutkan perjalanan.
Saat itu langit semakin
gelap dan gelap, menjelang maghrib itu Aku menyalakan headlamp dan menjadi pendahulu.
Karena ada 4 orang yang membawa senter maka formasi Kami berselang seling dalam
satu banjar antara yang memakai senter dan tidak. Perjalanan jadi semakin sulit
karena jalan yang licin setelah diguyur hujan dan langit semakin gelap tanpa
sinar rembulan atau kemerlip bintang-bintang. Hanya kabut malam yang
menyelimuti Kami tuk menuju pos Batu Lingga.. Terasa jauh tempat itu, kapankah Kami tiba di Batu Lingga? Berapa kali lagi kaki ini harus melangkah? Entahlah..