Selasa, 12 Februari 2013

Catatan Laskar Rimba, Pendakian Ceremai (Part III)


Lanjutan dari Catatan Laskar Rimba, Pendakian Ceremai (Part I)

dan Catatan Laskar Rimba, Pendakian Ceremai (Part II)

Alhamdulillah makan pagi telah selesai, nasi plus telur tahu dan sayur hanya 5000 rupiah~ dahsyaaat. Udah jam 6.45 pagi tapi belum datang juga petugas pendaftaran pendakiannya. Pas di telepon ternyata bilang 30 menit lagi. #okesip Kami mengisi waktudengan bincang-bincang tentang rencana tempat kemah bersama mas Hendrik dan Apri juga, karena Kami masih pemula, sebisa mungkin ada orang-orang ahli yang udah sering naik turun Gunung kaya mereka berdua ini yang bisa mandu perjalanan Kita. Rencananya sih Kami bertujuh dan Mas Hendrik plus Apri akan jalan bersama dan berkemah di Sangga Buana I atau Sangga Buana II.

Jam 07.15 pagi..
Akhirnya petugas datang dan Kami pun mendaftar dengan biaya 10000 tiap orang, plus fotokopi KTP juga untuk mendapatkan Surat Izin Pendakian. Akhirnya SIMAKSI telah Kami dapatkan, lets go!

Sebelum mulai Kami mengambil pesanan makan siang bungkus dengan menu percis seperti sarapan tadi pagi, rencananya makanan itu untuk makan siang nanti. Lalu musyawarah singkat nan sepihak, Aku mimpin pendakian ini. Saat mas Hendrik dan Apri telah berjalan duluan, Kami bertujuh masih bersibuk ria menyusun perbekalan dan memakai carrier. Tiap orang punya tanggungjawab membawa satu barang kelompok. Setelah siap semua, Kami berdoa lalu membuat jargon nan aneh. “Ciremai, Huhuyeah Allahu Akbar!” Go! Kami menyusul Mas Hendrik dan Apri.

Jam 07.30 pagi..
Perjalanan awal Kami ialah menapaki jalan beraspal dengan pemandangan kebun-kebun masyarakat di kanan dan kiri jalan. Tak jauh dari pos awal tadi, Kami melihat petani-petani yang sedang memanen Ubi, besar Ubinya dua kepal tangan orang dewasa. Kalau makan satu aja udah kenyang tuh kayaknya. 

Perjalanan awal di jalanan aspal ini ga sederhana, karena awalnya memang datar namun setelah melewati kebu-kebun tadi treknya semakin lama semakin naik dan ga ada jalan mendatar sedikitpun. Sampai yang paling ekstrim adalah tikungan tanpa ampun, begitulah Aku menyebutnya. Kemiringannya mungkin ada sekitar 60o dengan bentuk menikung belok 150o, ayo bayangin.. Bingung dah pasti K, sampai-sampai Kami harus mengambil jalan aspal terluarnya yang jauh dari pusat lingkatan tikungan.

Setelah tikungan itu tanjakannya ga ngasih napas, serius deh coba aja sendiri.. Ehehe
Tiga puluh menit Kami berjalan akhirnya sampai di pos Mata Air Cibunar 750 mdpl, disana sudah ada Mas Hendrik dan Apri yang beristirahat dan mengisi air untuk bekal mereka selama perjalanan. Pakai jaket lapangan ternyata panas juga ya, badan kami banjir keringat. Habib, Gema pun buka jaket karena panas. Setelah istirahat 10 menit kami berjalan lagi, sekarang tempatnya sedikit rimba. Ada beberapa kios tutup dan disekelilingnya pohon-pohon besar menjulang sekitar 10-15 meter. Jalanan sudah tidak beraspal lagi, sekarang jalan setapak penuh batu-batu dan tanah licin. Setelah berjalan cukup lama kami sampai di sebuah lahan terbuka ukuran 10 m2 yang pas dipakai buat latar foto-foto. Akhirnya Kami mampir dululah ya, ambil beberapa gaya buat oleh-oleh ke Bandung nanti J

Lalu jalan lagi dan bertemu Mas Hendrik dan Apri di warung tutup, tengah hutan. Bincang-bincang tentang pendakian dan Kami ditawari kalau mau ke Semeru bilang aja, nanti ditemenin. Waw! #okesip
Perjalanan Kami lanjutkan menyusuru Leuweung Datar terus menaik hingga 1200 mdpl dengan suasana hutan pinus dan diselimuti kabut, tak jarang Kami menemukan pohon-pohon tumbang menghalangi jalan setapak dan banyak semak berduri di sepanjang jalan. Hati hati, ayo pake sarung tangan dan topi atau kupluk J

Hutan Pinus dan Kabutnya, Leuweung Datar 1000 mdpl

Semak Berduri, ayo Menunduk! Leuweung Datar 1100 mdpl



Pohon-Pohon Tumbang, Leuweung Datar 1200 mdpl

Jam 11.30 siang..

Condang Amis 1250 mdpl

Setelah pendakian yang cukup menguras tenaga, Kami tiba di Pos Condang Amis 1250 mdpl, disana ada ruang terbuka yang bisa digunakan untuk istirahat para pendaki. Gema membuka panti pijat gratis disana, Aliuddin jadi pasien pertamanya J

Rehar dulu lah~ Condang Amis

Rencana selanjutnya Kami akan shalat Dzuhur plus Ashar dan makan siang di pos Kuburan Kuda, makaKami bergegas meninggalkan pos Condang Amis. Alhamdulillah cuaca sedang cerah J

Sekitar 30 menit berjalan, Kuburan Kuda belum sampai dan kami menemukan tempat datar yang cocok untuk istirahat makan dan shalat. Akhirnya Kami langsung istirahat dan makan terlebih dahulu, 7 porsi nasi bungkus 5000-an pun serasa makanan teristimewa saat itu. Sangat dinanti..

Belum Kami memulai makan siang, datanglah 2 orang muda mudi, laki dan perempuan. Mereka datang dari arah jalan puncak Ceremai, mereka pun menepi dan istirahat di samping tempat Kami menyimpan barang-barang. Mengobrolah Kami semua, beliau berkisah bahwa merek baru turun dari puncak, sudah jalan dari jam 9 pagi tadi dari kawah. Namun pemandangannya kabut semua, tuturnya. ”Sedihlah pokoknya!” katanya. 

Tak lama berselang datang seorang om-om dengan tongkat kayu uniknya datang dari arah kaki gunung, lalu disusul seorang lelaki yang membawa tas carrier super besar, isinya barang-barang keperluan pendakian mereka berdua, Boy, begitulah kami tau nama panggilannya dari om tadi. Si om udah 4 kali naik Ceremai, cuma pendakian terakhirnya sih taun 1994, ya masih bayi gitu deh kita semua. Hahaha, berumur kali ya si om, tapi masih keliatan stoooong!

Singkat cerita kami mulai makan dengan bumbu tanah setelah kejadian telur dadar jatuh dari bungkus nasi 2 kali, dan tetep kita makan walau ada butir tanah dan batu, iya ga Gem? Haha setelah dicuci pastinya. Masih enak kok,coba aja jatuhin telur dadar ditanah, cuci terus makan lagi. #ea *tips cacat nan sableng

Si om dan mas boy berangkat duluan ke Kuburan Kuda, sedangkan Kami shalat Dzuhur dan Asar di tempat tadi, dua anak muda tadi pun melanjutkan perjalananya menuju kaki gunung. Oke sip, Markisa! Mari Kita Shalat dengan alas matras dan jaket tuk tempat bersujud agar tak langsung menyentuh tanah hitam gunung yang basah itu. Selesalah shalat Kami! Berangkaaat! Berjalan sekitar 20menit, sampailah Kami di Kuburan Kuda. Si om dan mas boy sedang makan disana, dan Kami menemukan pesan yang ditulis dalam kertas memo..
Memo, Kuburan Kuda 1450 mdpl

Oke, artinya mereka berdua baik-baik aja dan berangkat ke lokasi duluan. Kami istirahat 5 menit lalu pamit dan melanjutkan perjalanan menuju Pengalap, kata si om perjalanan ke Pengalap sekitar 45-60 menit dengan jalan yang mendaki dan jangan ragu tuk berpegangan ke akar-akar dan batang pohon. Dan setelah Kami coba, benar saja medan pendakian disini semakin berat karena curam 30-600 dan banyak akar-akar keluar dari tanah dan bisa dijadikan pijakan kaki. Tak jarang Kami harus mengambil jalan yang zig-zag kanan dan kiri agar tidak curam dalam mendakinya. Dopping balsam pun mulai dipakai, Fakhri dan Bagas pakai geliga dan.. PANAS! Begitulah kata-kata yang keluar dari mereka berdua, Bagas baru pertama kali pakai itu dan mereka kepanasan sepanjang perjalanan disini. #pukpuk

Posisiku paling belakang dan Fakhri dipaling depan, yang lain menyebar di tengah. Aku menemukan tongkat kayu pemikul barang dagangan yang tak digunakan lagi, lalu tongkat itu dibawa Faishal tuk membantu mencengkram tanah saat mendaki.Beberapa kawan pun menemukan kayu-kayu lain sepanjang perjalanan lalu kayu itu dibawa tuk bantu menopang badan. Aku sendiri menggunakan tenda yang bentuknya seperti guling tuk bantu menapakan pijakan. Sekali-sekali kami istirahat tuk minum dan menambah tenaga lewat gula merah dari Bagas. J

Akhirnya..

Pangalap 1650 mdpl

Kami pun istirahat sejenak. Lalu mulai mendoping dengan balsam, sekarang counterpain cool bukan balsam ‘panas’ lagi. Udah cukup yang kepnasan duaorang, ga usah ditambah lagi. Ahaha, cesss adem pake ini. Paha dan betis pun dibalur dengan balsam dingin ini. Bagas kelelahan disini, Dia tidur dulu di batang pohon tumbang yang cukup besar. Emang enak tidur disitu, Gas? Ehehe


Di Pangasinan ini ada 3 tenda yang sudah terpasang namun penghuninya tidak ada. Nampaknya ada pendaki lain yang bermalam disini lalu melanjutkan perjalanan ke puncak. Mungkin di jalan nanti Kami akan bertemu mereka. Tiba-tiba si om dan mas boy sampai juga dipos ini. Dan merekapun istirahat.

Kami pamitan lagi, Bagas bangun dan nge-madurasa dulu, perjalanan dilanjutkan. Hari sudah semakin sore, kini jam menunjukkan pukul 3 sore. Selanjutnya pos Tanjakan Seruni! Namanya juga tanjakan, ya pasti naek ke atas dan tentunya curam juga dengan akar-akar pohon yang nenjadi pegangan sekaligus pijakan. Mungkin inilah alasan kenapa namanya Tanjakan Seruni, ya Seru! 30 menit lebih Kami habiskan tuk menuju pos Tanjakan Seruni ini.

Tanjakan Seruni 1825 mdpl

Istirahat dulu lah sambil makan biskuit~ Siom dan mas boy pun sampai di tempat Kami. “Kiw!” itulah ciri khasnya dalam berkomunikasidengan Kami. Saat beliau sampai pos, beliau menyeru “Kiw!” sehingga Kami tau bahwa pos selanjutnya sebentar lagi atau si om sudah dekat dengan lokasi Kami.

Si Om dan Mas Boy, Tanjakan Seruni 1825 mdpl

Setelah istirahat, perjlanan berlanjut menuju pos Bapa Tere (Ayah Tiri), yaa bayangkan aja gimana kejamnya Ibu Tiri yang ada di sinetron-sinetron, nah ini Ayah Tiri. Lebih kejam mestinya..

Dan benarlah! Momen pendakian yang berkesan, pasti. 30 Kami mendaki menikuti jalan setapak akibat saluran air dan beberapatanah menyembul karena akar-akar pohon, tiba-tiba tes tes tes.. Hujan turun! Tak terlalu deras tapi.. lama-kelamaan malah deras. Maka kamipun menepi di bawah pohon yang rimbun sehingga tetesan air tak langsung mengenai kami. Si om dan mas boy menembus hujan dan berpapasan dengan Kami yang sedang meneduh, beliau pun meneduh. Disini Aku berencana menadah air hujan tuk dimasukan ke botol, namun sulit menampung air itu dengan ponco, alhasil setelah siap tuk menampung hujan, hujan pun mereda namun tak berhenti.

Perjalanan dilanjutkan dengan tas yang berbalut jasnya agar tak basah. Kami pun menggunakan jas hujan. Perjalanan menjadi lebih licin karena hujan, medan pendakian masih berat dan cenderung lebih curam daripada sebelumnya. Kemiringan tanah 60-750 harus kami lalui sampai akhirnya ada juga tanhakan 900 sehingga Kami harus seikit memanjat berpegangan pada akar yang sudah berserabut, akar itu menjadi seperti tali yang membantu Kami menuju ke atas. Setelah tantangan terakhir itu Kami sampai di Bapa Tere! Bukan pos ternyata, Bapa Tere ialah tanjakan yang tak memiliki lahan datar tuk istirahat. Perjalanan lanjut!

Bapa Tere 2025 mdpl

Lima menit berjalan setengah merangkak karena medan pendakian yang curam, Kami sampai dilahan yang cukup luas dengan pohon-pohon besar yang bergeletakan di tanah basah akibat batangnya patah, mungkin karena badai.
Diantara Pohon Tumbang, Bapa Tere 2025 mdpl

Perjalanan belum selesai, hari makin gelap menjelang maghrib ini. Kami menyiapkan senter, senter disimpan di tempat yang mudah dijangkau tangan. Si om dan mas boy sudah berangkat duluan menuju Pos Batu Lingga. Namun Kami menyusul kembali si om dan mas boy dan tiba-tiba Kami bertemu dua tenda yang telah terpasang. Ternyata itu tenda mas Hendrik dan Apri, saat berbincang mereka berkata tak melanjutkan sampai ke Sangga Buana II saat itu karena hujan turun sore tadi. Mereka berencana naik ke puncak besok pagi. Kami pun berpamitan lalu melanjutkan perjalanan.

Saat itu langit semakin gelap dan gelap, menjelang maghrib itu Aku menyalakan headlamp dan menjadi pendahulu. Karena ada 4 orang yang membawa senter maka formasi Kami berselang seling dalam satu banjar antara yang memakai senter dan tidak. Perjalanan jadi semakin sulit karena jalan yang licin setelah diguyur hujan dan langit semakin gelap tanpa sinar rembulan atau kemerlip bintang-bintang. Hanya kabut malam yang menyelimuti Kami tuk menuju pos Batu Lingga.. Terasa jauh tempat itu, kapankah Kami tiba di Batu Lingga? Berapa kali lagi kaki ini harus melangkah? Entahlah..


>>to be continued..


Tidak ada komentar:

Intense Debate Comments

Link Within

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Label