Minggu, 22 Januari 2012

Sholat Istikharah yuk

Istikharah adalah perkara yang disyariatkan sebagaimana musyawarah juga disyariatkan, sebagaimana firman-Nya;

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

"Maafkanlah mereka, mohonkan ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segenap perkara. Apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.” (QS. Ali Imran 3: 159)

As-Sayyid Sabiq berkata: “Istikharah hanya disyariatkan pada masalah yang asal hukumnya mubah, adapun perkara yang wajib atau sunnah, maka sudah diketahui bahwa hal itu berakibat baik, diperintahkan untuk dilaksanakan dan berpahala. Demikian juga perkara yang haram dan makruh, maka hal itu sudah diketahui bahwa akibatnya buruk dan diperintahkan untuk meninggalkannya, serta diancam dengan adzab Allah. Dan sini kita mengetahui bahwa tidak disyari’atkan sholat Istikharah dalam perkara wajib, sunnah, haram dan makruh, karena semua itu telah jelas akibat baik dan buruknya”. (Dinukil secara bebas dari Fiqh as-Sunnah 1/199, demikian juga dikatakan oleh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam Bahjah an-Nadhirin Syarh Riyadh as-Sholihin, 2/43)

Shalat Istikharah boleh dilakukan untuk perkara wajib atau sunnah, tetapi bukan dilakukan untuk mencari akibat baik atau buruk dan perkara yang wajib atau sunnah tersebut (lantaran akibat dan perbuatan wajib dan sunnah sudah jelas baik, dan berpahala), hanya saja dilakukan seperti untuk menentukan waktu terbaik pelaksanaan perkara wajib, atau ingin mendahulukan yang terbaik dari beberapa perkara sunnah yang hendak ia lakukan.

Suatu contoh, seseorang yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, maka ia tidak perlu beristikharah untuk menentukan apakah qadha’ puasa baginya baik atau buruk, karena sudah jelas hukum mengqadha’ puasa Ramadhan adalah wajib dan berpahala, tetapi ia dapat beristikhara apabila ragu menentukan kapan hari untuk mengqadha’ puasanya.

Tata Cara Istikharah
Dan Jabir bin Abdullah beliau berkata: “Nabi mengajari kami (shalat) istikharah dalam segenap perkara sebagaimana beliau mengajari kami surat-surat al-Qur’an”, beliau bersabda: “Apabila di antara kalian berkeinginan/bermaksud terhadap suatu perkara, hendaklah sholat sunnah dua rakaat bukan termasuk wajib, kemudian berdo'a:

اللَّهُمَّ إِنيِّ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ اْلعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ, وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ, وَأَنْتَ عَلاَّمُ اْلغُيُوْبِ. اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ -وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ- خَيْرٌ لِي فيِ دِيْنيِ وَمَعَاشيِ وَعَاقِبَةِ أَمْرِي، عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ ليِ وَيَسِّرْهُ ليِ، ثُمَّ بَارِكْ ليِ فِيْهِ. وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ ليِ فيِ دِيْنيِ وَمَعَاشيِ وَعَاقِبَةِ أَمْرِي، عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنيِّ وَاصْرِفْنيِ عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِيَ اْلخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنيِ بِهِ

Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu pengetahuan-Mu dan aku mohon kekuasaan-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan kemahakuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu Yang Mahaagung, sesungguhnya Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa. Engkau mengetahui sedang aku tidak mengetahui dan Engkau adalah Maha Mengetahui hal yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (hendaknya menyebutkan persoalannya) adalah baik untuk agamaku, kehidupanku, dan akibatnya terhadap diriku, di dunia atau akhirat, maka taqdirkanlah untukku, mudahkan jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini berbahaya bagiku dalam agama, kehidupanku dan akibatnya terhadap diriku, maka jauhkanlah persoalan tersebut dariku dan jauhkanlah aku darinya, taqdirkan kebaikan untukku di mana pun ia berada, kemudian berilah kerelaan-Mu kepadaku” (HR. al-Bukhari)


Apa yang Dilakukan Setelah Shalat Istikharah dan Bermusyawarah?
Imam Nawawi r.h. berkata (Perkataan Imam Nawawi (dinukil secara bebas) ini dinukil oleh Imam Syaukani dalam Nailul Author 2/298): “Setelah seseorang melakukan shalat Istikharah, sebaiknya dia menjalani apa yang dia rasakan lapang dadanya terhadap perkara tersebut baik meneruskan maksudnya atau meninggalkannya.”

Kemudian beliau melanjutkan perkataannya:

“Bagi orang yang hendak beristikharah hendaklah ia menghilangkan kecondongan hatinya terhadap suatu perkara sebelum melakukan solat dan do'a Istikharah, dan tidak selayaknya bersandar kepada adanya kecondongan hati sebelum istikharah, karena apabila ada kecondongan hati sebelum istikharah, lalu dia melakukan istikharah, berarti dia tidak beristikharah, karena istikharah dilakukan ketika bimbang dan meminta dipilihkan yang terbaik dari Allah untuknya.”

Boleh Mengulang Solat Istikhoroh dalam Satu Perkara
Ibnu Utsaimin berkata (Dinukil secara bebas dari Syarh Riyadhus Sholihin oleh Ibnu Utsaimin 2/515): “Setelah melakukan shalat dan do’a istikharah, apabila merasa lapang dadanya terhadap suatu perkara baik meneruskan atau meninggalkan, maka inilah yang diharapkan, tetapi apabila tetap bimbang dan tidak merasa lapang dadanya, maka dia boleh mengulangi solat dan do'a Istikharahnya ke dua kali, ke tiga kalinya, dan seterusnya, hal ini lantaran orang yang beristikharah adalah orang yang meminta petunjuk kepada Allah akan kebaikan yang akan dia lakukan sehingga apabila tidak jelas baginya kebaikannya atau tetap ragu maka dia boleh beristikharah berulang kali.”

Adakah Tanda-Tanda Dikabulkannya Permintaan?
Sebagian orang berkata: “Setelah melakukan shalat dan do'a Istikharah, maka akan datang petunjuk dalam mimpinya, maka diambil pilihan sebagaimana mimpinya,” oleh karena itu ada sebagian orang berwudhu’, lalu melakukan sholat dan doa istikharah, kemudian terus tidur (mengharap petunjuk datang melalui mimpi), bahkan sebahagian mereka menyengaja memakai pakaian berwarna putih (supaya bermimpi baik), semua ini hanyalah prasangka manusia (yang tidak ada dasarnya). (Lihat Bahjah an-Nadzirin Syarh Riyadhus Sholihin oleh Syaikh Salim bin led al-Hilali 2/44)

Jadi tidaklah benar anggapan bahwa petunjuk pasti datang lewat mimpi setelah shalat istikharah.

Demikianlah yang dapat dibentangkan dari beberapa penjelasan/keterangan para ulama tentang shalat Istikharah, mudah-mudahan kita mendapat petunjuk dari Allah sehingga kita dapat melangkah sesuai dengan apa yang digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya dan mendapatkan yang terbaik dan sisi-Nya dengan jalan taat dan istiqomah di atas landasan-Nya, aamiin.

Wallahu'alam bishawab

Tidak ada komentar:

Intense Debate Comments

Link Within

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Label