Sabtu, 23 Mei 2015

Bulu Tangkis

Bulu tangkis adalah dua kata magis yang dapat membawa pikiranku pergi ke ruang nostalgia, memutar waktu ke masa kecilku dulu. Ketika aku masih belajar di sekolah dasar, setiap hari minggu ayahku selalu mengajak kami sekeluarga untuk berjalan-jalan menikmati suasana pagi sambil berolahraga di daerah pasar minggu padang golf sulaiman, seberang jalan komplek perumahan kami. Namanya pasar minggu karena daerah itu berubah menjadi pasar dadakan tiap hari minggu. Berbagai menu santapan dijajakan oleh puluhan pedagang kaki lima, alat rumah tangga, sampai mainan anak-anak pun banyak diperjual-belikan di pasar ini. Saat itu, raket bulu tangkis adalah peralatan olahraga wajib yang selalu keluarga kami bawa.
Ayah memang lihai bermain bulu tangkis, setiap pukulanku sepertinya selalu bisa ia balas dengan baik. Aku hanya bisa mengembalikan pukulan yang melambung tinggi. Smash cepat atau penempatan pukulan silang yang menyamping? Haha jangan ditanya dong, plis. Aku yang dulu, si bocah kecil nan gendut, sangat kewalahan jika diajak adu kelincahan menepis kok bulu tangkis yang menukik sadis. Ayah adalah orang paling pengertian yang selalu memberi passing atas yang santai dan mudah ditepis.
Aku pun akhirnya kecanduan bulu tangkis, hampir setiap hari aku ajak ayah bermain. Hingga akhirnya aku cukup lihai memberikan perlawanan berarti saat raket berada di tanganku. Kadang-kadang dengan sombongnya aku pun tantang tetangga untuk main. Haha, hasilnya memang menang-kalah udah seperti siang-malam, silih berganti.
Seringnya aku bermain bukan untuk menang atau kalah, tapi kebersamaannya yang membuat permainan itu selalu menarik nan mengasyikan. Yah, sekarang aku rindu masa-masa itu, saat aku dengan mudahnya bisa bermain bulu tangkis dengan ayah, adik, atau teman-temanku. Sekarang raket bulu tangkisku telah pensiun, tersimpan rapi di sudut ruangan dan mulai dipenuhi berdebu. Sudah lama aku tidak bermain lagi, sampai-sampai aku hampir lupa cara mengembalikan kok bulu tangkis sehingga kawan mainku mati langkah. Hhaha
Sore ini, beberapa temanku merencanakan olahraga yang hampir aku lupakan ini. GOR Cisitu Dago telah menjadi tempat yang membuka memori lamaku tentang bulu tangkis. Walau hanya satu jam permainan, tapi tadi sungguh sangat mengasyikan. Aku jadi tau, tenyata permainanku tidak banyak berubah dari kecil dulu. Jago-jago cupu, hehe. Terimakasih muhammadjhovy yulisetiawan Syafira, dan Sarah. Semoga kita bisa bermain lagi di lain kesempatan dan menghasilkan lebih banyak keringat dan tawa.
Lama ga main. Sekalinya main, cuma sebentar tapi langsung bikin tangan pegal yah. Faktor usia mungkin, haha. Gapapa deh, karena hari ini aku telah diingatkan untuk selalu mencintai masa lalu yang pernah kita jalani, karena tempaan dari peristiwa masa lalu itulah kita menjadi kita yang sekarang. Manusia yang utuh, karena masa lalu.
Sudut Kontemplasi, 22 Mei 2015 23.57 WIB | Marcel Tirawan

Perjalanan

Hari itu matahari bersinar tak begitu terik, namun cukup hangat untuk membuatmu nyaman berlama-lama menikmati indahnya pagi dengan melakukan perjalanan. Aku pun beranjak dari rumah untuk mewujudkan sedikit impianku menyusuri tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi di sekeliling tempat tinggalku. Kau tau di mana aku tinggal?
"Bandung Selatan?! Jauh amat.. butuh paspor gak buat ke sana? Yuk booking pesawat"
Haha begitulah celotehan teman-temanku ketika mereka tau aku tinggal di margahayu, daerah Bandung coret Selatan. Teman-temanku jarang mengunjungi daerah ini karena memang mayoritas tinggal di daerah Kota Bandung. Maklum, semenjak aku sekolah menengah, SMP dan SMA, di pusat kota mayoritas temanku adalah anak-anak kota yang mungkin ga tau kerasnya kehidupan masyarakat pinggiran. Haha lebay
Pagi itu aku mengayuh sepeda tetanggaku yang telah ia jual ke orang tuaku, kabarnya saat itu ia sedang membutuhkan uang. Akhirnya sepeda itu kini aku manfaatkan untuk melakukan perjalanan-perjalanan menikmati waktu. Agaknya cukup mustahil bisa menikmati perjalanan dengan santai menggunakan sepeda motor di daerahku sini.
Akhirnya kuputuskan untuk pergi ke sebuah padang rumput golf di belakang Lapangan Udara Sulaiman, Kabupaten Bandung. Daerah yang belum pernah aku datangi. Sebuah tempat yang misterius dan tersembunyi, jarang orang berjalan-jalan ke sana hanya untuk iseng menghabiskan waktu.
Nah perjalanan cukup panjang melewati jalanan beraspal akhirnya terhenti di jalan setapak dengan batu-batu paving blok yang tersusun rapi. Aku mengayuh sepeda melewati berbagai tempat di sana. Ada sekumpulan orang yang sedang bermain golf, ada orang yang sedang memotong rumput, ada orang yang menyapu lapangan rumput, ada ikan-ikan yang muncul ke permukaan untuk menyapa mentari di danau. Begitu banyak pemandangan yang jarang kutemui di kehidupan kampus sana. Perjalanan pagi telah mempertemukanku dengan suasana ini.


image

Aku sangat bersyukur bisa melakukan perjalanan pagi itu. Sehingga aku dapat melihat hal-hal yang belum pernah aku lihat, menemui orang-orang yang belum pernah aku kenal, mengabadikan keindahan yang belum pernah aku rasakan, dan meninggalkan jejak langkah roda-roda sepedaku di sana.
Perjalanan berkesan itu harus berakhir karena aku harus kembali ke rumah. Aku pun berpisah dengan suasana syahdu pagi itu di padang rumput dan membawa kenangan tentang indahnya menikmati hari ditemani hangat mentari.
Ya, mungkin itulah makna berbagai perjalanan hidup manusia.
Hidup selalu mengajarkan kita untuk mensyukuri setiap pertemuan dan perpisahan, kemudian mengenangnya.
Sudut Kontemplasi, 23.58 WIB 21 Mei 2015 | Marcel Tirawan 

Selasa, 19 Mei 2015

Jejak Langkah

Di Sekolah Kehidupan, setiap orang yang kita temui hakikatnya adalah seorang guru dan setiap tanah yang kita pijak adalah ruang-ruang kelasnya
Manusia yang bijaksana selalu bisa mengambil pelajaran dari segala peristiwa. Ia akan belajar dari setiap pengalamannya sendiri pun orang lain, karena ia sadar tidak bisa hidup cukup lama untuk mendapatkan pelajaran dari pengalaman dirinya sendiri. Celakanya, bilangan usia kadang bertambah lebih cepat dibandingkan kebijaksanaan dan kedewasaan diri.
Dia lah sang pembelajar, pribadi yang tidak cepat puas diri terhadap ilmu dan amalnya. Ia akan terus mengambil hikmah dari jejaknya sendiri maupun orang lain dan merangkainya untuk bekal menapaki langkah-langkahnya di hari esok. Ia sadar apapun yang ia lakukan kelak akan meninggalkan jejak langkah dalam sejarah, maka ia pun berhati-hati agar jejaknya menjadi pelita bagi umat manusia. Pada akhirnya dunia ini akan selalu menjadi rumah yang nyaman bagi setiap insan.
Dia pun paham bahwa ia dan orang-orang disekitarnya bukanlah gerombolan para malaikat yang tak punya cela. Ada saja khilaf dan salah yang mereka lakukan saat menjalani hari-hari. Sayangnya.. baik sangka yang didahulukan, kemaafan yang berulang, dan nasehat tersembunyi selalu menjadi perekat persaudaraan yang membuat mereka tetap padu. Kehilangan membuat mereka belajar untuk menghargai setiap kehadiran.
Pada akhirnya, pasti selalu ada alasan kenapa Allah menpertemukan kita dengan seseorang, siapapun itu, kapanpun, dan di manapun. Pertemuan akan memberi kita ruang untuk saling mendapatkan ilmu dan hikmah dari jejak langkah yang lalu, asalkan kita bisa menang melawan salah satu penghalang datangnya ilmu. Yaitu perkataan, “Aku sudah tau.”
Sudut Kontemplasi, 19 Mei 2015 00:36 WIB | Marcel Tirawan

Minggu, 17 Mei 2015

Daun dan Embun

Ingatkah engkau kepada,
Embun pagi bersahaja,
Yang menemani mu,
Sebelum cahaya
Ingatkah engkau kepada,
Angin yang berhembus mesra,
Yang 'kan membelai mu, cinta.
Sebelum Cahaya - Letto
Inilah kisah tentang daun yang terus tumbuh seiring waktu, dulu ia kecil mungil dan malu-malu. Masih rentan tuk bisa melawan kerasnya kehidupan abad dua puluh satu. Warnanya pun masih hijau nan memukau para penduduk dunia. 
Sayang, sekarang ia mulai memasuki masa senjanya. Sejarah telah mencatat segala perannya untuk membantu sang tanaman menghasilkan buah sepanjang tahun. Daun mulai menguning dan bersiap untuk jatuh diterbangkan hebusan angin sore hari.
Embun, ia lah yang selalu setia menemani daun dalam setiap hari-hari yang dilewatinya. Embun pagi telah menjadi guru kehidupan yang meneguhkan daun dalam setiap langkahnya. Ia mengajari daun dengan penuh kesabaran semenjak daun belum tau apa-apa hingga sekarang ia kuat menjalani semuanya sebagai sang daun mesin kehidupan tanaman.
Selama daun belum gugur, embun akan selalu hadir menemaninya sampai cahaya mengintip di balik pepohonan dan mentari kian meninggi. Begitulah seterusnya dari hari ke hari. Embun tak pernah keberatan untuk hadir lagi dan lagi, walau daun tak memintanya untuk kembali.
Kitalah daun, sedangkan embun adalah mereka, para guru kehidupan yang akan selalu istimewa keberadaanya. Atas kesetiaannya, sungguh, embun tak perlu berwarna untuk membuat daun jatuh cinta..
Sudut Kontemplasi, 17 Mei 2015 22.59 WIB | Marcel Tirawan

Intense Debate Comments

Link Within

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Label