Minggu, 31 Maret 2013

Catatan Laskar Rimba, Pendakian Ceremai (Part IV) END


Lanjutan dari Catatan Laskar Rimba, Pendakian Ceremai (Part I)

Catatan Laskar Rimba, Pendakian Ceremai (Part II)


dan Catatan Laskar Rimba, Pendakian Ceremai (Part III)

cek selengkapnya di ~> Catatan Laskar Rimba, Pendakian Ceremai (Part III)




Saat itu langit semakin gelap dan gelap, menjelang maghrib itu Aku menyalakan headlamp dan menjadi pendahulu. Karena ada 4 orang yang membawa senter maka formasi Kami berselang seling dalam satu banjar antara yang memakai senter dan tidak. Perjalanan jadi semakin sulit karena jalan yang licin setelah diguyur hujan dan langit semakin gelap tanpa sinar rembulan atau kemerlip bintang-bintang. Hanya kabut malam yang menyelimuti Kami tuk menuju pos Batu Lingga.. Terasa jauh tempat itu, kapankah Kami tiba di Batu Lingga? Berapa kali lagi kaki ini harus melangkah? Entahlah..

Tiga puluh menit berjalan akhirnya.. sampailah Kami di Batu Lingga!





Batu Lingga 2200 mdpl




Jam 07.00 malam..
Kami langsung menyiapkan dua tenda yang Kami bawa, Bagas dan Fakhri membangun tenda milik Bagas berkapasitas 2 orang sedangkan Aku, Faishal, Gema, Aliuddin, dan Habib membangun tenda lebih besar untuk 5 orang. Si om dan mas boy pun membuat tenda kecil di sebelah tenda-tenda Kami. Pos Batu Lingga ini cukup untuk menampung 3 sampai 4 tenda, dengan dibangunnya tiga tenda disini lahan mendirikan tenda pun habis. Setelah selesai membangun dua tenda Kami makan-makan di tenda besar sambil mengumopulkan bahan-bahan makanan plus minuman yang tersisa, kecuali Gema yang tepar nan mojok di ujung tenda berbalut sleeping bag dan kupluknya. Malah tidur dia~

Malam semakin larut, Kami pun beranjak menuju peraduan masing-masing.. Alhamdulillah

Jam 05.00 pagi..
Brrrr.. Dingin coy!

Akhirnya dengan segala kekuatan yang ada Kami bergerak bergerak dan bergerak lalu shalat,langsung dah pasang kompor parafin plus kompor gas portable juga. Rebus Air trus seduh minuman-minuman, ga lupa makanan sejuta umat juga, mie rebus! Kompor parafin dipake buat bikin nasi. Beras yang Kami bawa kebanyakan beud jadi sisanya masih banyak, akhirnya sebagian Kami masak buat dimakan siang nanti. Nasi dah jadi, langsung dah kloter pertama makan beraksi, menu nasi abon osengan tempe nan kornet gagal pun tersaji. Makan deh, setelah itu masak nasi lagi lalu lanjut kloter dua makan pagi.

Perjuangan pisan nih bikin makanan, tapi sejauh ini fine lah. Emang cowo-cowo jago masak nih Kita, #eh salah, jago makan. Beres dah! Saatnya summit attack! Kami bawa barang seperlunya, tenda plus carrier ga dibawa ke puncak. Kam 7.30 pagi Kami mulai perjalanan setelah mengabadikan beberapa pose.

Sampai berjumpa lagi duo tenda ganteng,



Jam 07.30 pagi..

Salam Perpisahan Sementara, Batu Lingga 2200 mdpl


Go!

Sekitar 30 kami lalui jalan menanjak menembus hutan penuh lumut nan lembab, sampai akhirnya Pos Sangga Buana I, puncak semakin dekat, setelah istirahat sejenak langsung Kami lanjutkan perjalanan.. Terus mendaki melalui jalan-jalan setapak bercabang dua berujung satu selama 20 lalu sampailah Kami di SANGGA BUANA II. Ahey!

Tempatnya cukup luas untuk 5 sampai 6 tenda, tapi sayangnya disini sampahnya berserakan dimana-mana. Bungkus kopi dan mie mendominasi warna-warni suasana pos ini. Botol-botol 1,5L berserakan nan ada yang bergelantungan diikat tali di dahan-dahan pohon hamper mati. Suram kelam~

Istirahan sejenak lalu Kami lanjutkan perjalanan menuju puncak, tinggal 1 pos lagi untuk mencapai puncak loh, Pengasinan! Jalan menuju Pengasinan didomonasi batu-batu beku ukuran sedang dan besar, tak jarang ada pohon-pohon tumbang di tengah jalan setapak yang Kami lalui. Tiba-tiba ada suara tak asing menyapa Kami, nah itu dia Mas Hendrik dan Apri, mereka dalam perjalanan pulang dari Kawah. Bincang-bincang kangen udah lama ga ketemu lalu Kami berpisah, Mereka berdua bergegas pulang menuju tendanya di bawah sana.

Kami melanjutkan perjalanan panjang, hingga entah ketinggian berapa yang pasti sudah jarang pohon-pohon tinggi. Pohon disini paling tinggi 2 meter, angin disini pun kencang. Dan.. Edelweis yang katanya punya bunga abadi pun berada di hadapan Kami..

Jam 08.45 pagi..

Pengasinan!

Hamparaan edelweis sepanjang mata memandang, namun sayangnya bunga-bunganya yang putih mungil itu belum bermekaran. Aah iya! bunga-bunga ini baru terlihat di musim kemarau. Tapi.. Alhamdulillah sejuk mata kami memandangi hamparan tanaman berbunga abadi ini.

Hey, kawan! Rumah-rumah penduduk Kota Cirebon dan Laut Jawa terlihat jelas disini loh, awan-awan putuh layaknya kapas terbang berada di bawah Kami. Aseeek, ini saatnya mengabadikan momen..



Di Atas Awan, Di Antara Edelweis, Cirebon, dan Laut Jawa, Pengasinan 2800 mdpl


Tak terasa telah sejauh ini Kami melangkah setelah banyak cobaan yang menggetarkan langkah Kami dalam perjalanan ini. Pendakian ini penuh dengan kisah-kisah indah nan penuh hikmah. Hanya perlu sekitar 200 meter lagi menuju puncak Ceremai 3078 mdpl dari tempat Kami berdiri.

Ayo-ayo lanjut coy!

Perjalanan kami lanjutkan menuju arah puncak, sepanjang mata memandang hanya ada tanaman edelweiss dan pohon-pohon pendek yang tingginya 2 sampai 3 meter.

Hap-hap-hap, setengah melompat kami menuju ke arah puncak Ceremai, bahan bakar semangat kami tak sedikitpun berkurang, rasa ingin berhasil masih bergejolak dalam dada kami. Walaupun saat itu Matahari tak terlihat sinarnya pun awan kelabu selalu mengiringi langkah kami dan angin pun mulai tak bersahabat lagi, asa api semangat itu masih menyala dalam hati kami.

Dingin hinggap menusuk kulit, karena angin ini membawa butiran air sedingin es yang pernah kita bayangkan dan berandai kehadirannya saat perjalanan penuh dahaga di kaki gunung lalu, tapi apa mau dikata, sekaranglah baru kami rasakan apa yang kami inginkan sebelumnya. Makin basahlah baju-baju dan jaket ini, air dari langi bercampur keringat dari kulit, paduan sempurna yang membuat kami ingin segera berganti baju. Ahaha, gimana caranya?


Nikmat Inilah yang Kami Rasakan, Menuju Puncak Ceremai 2950 mdpl


Pohon demi pohon dilewati, jejak jalan setapak kami telusuri tak terasa makin jauh kami dengan pos Pengasinan tadi, suasana disini makin sepi, makin jarang pohon-pohon dalam keadaan utuh yang kami temui. Kebanyakan pohon-pohon disini tumbang atau hanya ada batang dan ranting tak berdaun karena kencangnya angin yang menerpa. Langkah-demi langkah, jalanan ini mulai gak beradab, perlu lompati batu-batuan dan batang-batang pohon dengan sesekali kami harus mencengkram erat batang atau akar pohon yang ada agar tak tergelincir.

Perjuangaaan belum usai, dikit lagi soooob!

Mendaki di bibir jurang yang terbentuk karena longsoran tanah udah ga asing lagi bagi kami di tempat ini, makin menanjak, makin banyak batu-batuan dan makin jarang pohon-pohonan. Batu cadas besar dan kecil kini jadi alas langkah kami menuju ke puncak.

10.00 pagi..
Fakhri, Gema, Aliuddin, Habib, Bagas, berjalan duluan, Aku dan Faishal di belakang menyusul dari kejauhan. Hingga satu waktu teriakan salah seorang yang telah sampai di atas sana bersorak, “Woy Puncak, woooy!”. Sontak Aku dan Faishal bersegera menuju atas sana..

Saat itu angin benar-benar sedang tak bersahabat, gemuruh angin kawah sudah terdengar jauh sebelum bau belerang kami rasakan. Seakan belerang yang ada tak memberi sedikitpun rasa pada udara yang kami hirup. Hembus nafaskami menderu.. daaaan..

Hap!

Langkah terakhir!

Langkah ini menghantarkan aku menuju puncak Ceremai, Gunung tertinggi Jawa Barat..

Alhamdulillaaaaaaaaaaaaaah!

Rintik hujan beriring angin dari dalam kawah menghantarkan basah yang menyelimuti wajah dan tubuh ini, merasuk hingga relung hati-hati kami..

“Maka Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” QS Ar-Rahmaan [55]:13

Sendu Meratapi Keberhasilan, Puncak Panglongokan Ceremai 3027 mdpl

Saat itu angin penuh butiran air berhembus dari dalam kawah, tepat dibelakang kami, dingin sangat dingin membekukan sendi-sendi tulang kami, mungkin suhunya mencapai sekitar 50 C loh! Kamera pun buram oleh basahnya angin


Gunung Ceremai! 1 2 3, huh huh yee, Allahuakbar! J #jargon
Ekspresif! Ahahaha, Puncak Panglongokan Ceremai 3027 mdpl

Can you see me? Puncak Ceremai 3078 mdpl

Akhir Penantian, Puncak Ceremai 3078 mdpl
“Biarkan keyakinan kamu, 5 sentimeter menggantung mengambang di depan kening kamu. Jadi dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu.  
Dan kamu bawa mimpi dan keyakinan kamu itu setiap hari, kamu lihat setiap hari, dan percaya bahwa kamu itu bisa. 
Apapun hambatannya, bilang sama diri kamu sendiri, kalo kamu percaya sama keinginan itu dan kamu nggak bisa menyerah.  
Bahwa kamu akan berdiri lagi setiap kamu jatuh, bahwa kamu akan mengejarnya sampai dapat, apapun itu, segala keinginan, mimpi, cita-cita, keyakinan diri.  
Dan sehabis itu, yang kamu perlu cuma....Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa. 
Dan kamu akan selalu dikenang sebagai seorang yang masih punya mimpi dan keyakinan, bukan cuma seonggok daging yang hanya punya nama. 
Kamu akan dikenang sebagai seorang yang percaya pada kekuatan mimpi dan mengejarnya, bukan seorang pemimpi saja, bukan orang biasa-biasa saja tanpa tujuan, mengikuti arus dan kalah oleh keadaan. 
Tapi seseorang yang selalu akan percaya akan keajaiban mimpi, keajaiban cita-cita, keajaiban keyakinan manusia yang tak terkalkulasi kan dengan angka berapa pun. 
Dan kamu nggak perlu bukti apakah mimpi itu akan terwujud nantinya karena kamu hanya harus mempercayainya. yak, percaya pada... 5 sentimeter di depan kening kamu.”

Teringat aku akan kata-kata dalam suatu lembar di novel 5cm karya Donny Dhirgantoro halaman 362-363 diatas, yah inilah hasil memaknai arti dari senandung tekad nan totalitas, berusaha semaksimal mungkin tuk mencapai tujuan. Walau ini bukan cerita 5cm tentang 5 sekawan dan 1 cintanya, aku berani mengatakan bahwa..
Bahwa kisah pendakian kami ini adalah sesuatu yang lebih indah dari sekedar cerita novel! Ini nyata dan kami lah orang-orang yang ada dalam sejarah yang kami buat sendiri atas izin-Nya..

Jam 10.30 pagi..
Selamat tinggal bebatuan di tempat tertinggi Jawa Barat, kami harus melangkah meninggalkan seribu kenangan tentangmu disini, tentang dinginnya, tentang gelapnya, tentang terjalnya, biarkan hanya indahnya kebersamaan dan cerita tentangmu yang kan kami bawa pulang..

Langkah demi langkah kami tapaki menuju tenda, hingga sampailah di tenda Batu Lingga nan menyejarah.
Hayu makan! Lapar kali nih hey :D


Wajah-Wajah Beringas nan Kocak Karena Kelaparan. You Mad?

Makan makaaaan!


Setelah makan dan membereskan segala perlengkapan ke carrier lagi, lalu kami pun melaju kembali ke pos  pendakian awal tuk kembali ke rumah!

Perjalanan menurun ini penuh cerita, sungguh penuh cerita..

Ada kisah tentang keberanian, pengorbanan, kesetiaan, berbagi peran, pun konflik antar sahabat terjadi disini, namun aku tak ingin menjabarkan semua kisah indah ini melalui goresan pena, mungkin kalau kau penasaran, jadi tanyakan langsung saja pada saksi-saksi bisu di rimba sana atau selama kami masih menghembus nafas biarlah lisan kami yang langsung menuturkan kisah menyejarah ini padamu agar kau merasa iri.. iri akan indahnya perjalanan kami :)

Jam 07.00 malam..

Loh Mana Faishal ya? Hhaha Dia Kan yang Foto Kita XD

Alhamdulilaaaaah.. J


Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami.
Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang benci kemunafikan.

Rasa persaudaraan dalam berjuang melawan kemunafikan tidak mungkin tumbuh dari hanya ucapan kata, ia perlu dibuktikan dengan aksi-aksi nyata. Tak usah berkata cinta kalau tak ingin berbagi rasa. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya.

Dan mencintai lebih dalam sahabat-sahabat sekitar dapat ditumbuhkan dengan mengenal eloknya pribadi-pribadi para sahabat ketika Kita beraktivitas bersama..

Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda seperti Kami haruslah berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat.

Karena itulah kami naik gunung!
Dan sungguh di atas sana.. 
saat angin datang mehembus kencang menggetarkan pijakanmu, 
saat dingin yang menusuk sembilu menyelimutimu, 
saat rimbunnya rimba membuatmu hatimu ragu, 
saat jurang berujung kelam ada disisi langkahmu, 
Omong kosong jika engkau tak berbicara tentang Allah, 
Disana, engkau kan menyadari betapa kecil nan lemahnya dirimu, 
Aku, dia, dan mereka, ibarat butiran debu.. 
Butiran debu yang ada diantara hamparan alam semesta..

Syair terinspirasi tulisan-tulisan Soe Hok Gie tentang gunung

End.
Bandung Januari 2013
Marcel Tirawan
@marceltirawan

Tidak ada komentar:

Intense Debate Comments

Link Within

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Label